Selasa, 17 April 2018

Dewa (Hindu) punya istri ?

Istri dalam bahasa Sanskerta artinya: Sakti atau Power, tatkala dikatakan istri sebenarnya itulah powernya. Misalnya, Dewa Brahma bertugas menciptakan, untuk itu Ia perlu power berupa Ilmu Pengetahuan, maka saktinya/Istrinya adalah Dewi Saraswati= Dewi Ilmu Pengetahuan.

Demikian pula Dewa Visnu, bertugas untuk memelihara, maka Ia butuh power berupa makanan/padi, maka saktinya/Istrinya adalah Dewi Padi/ Dwi Sri… dan seterusnya.

Dewa berasal dari kata Div = Cahaya, Mereka adalah ciptaan Yang Maha Kuasa, yang memiliki fungsi tertentu. Iapun memiliki keterbatasan. Ia sama dengan manusia yang merupakan ciptaan Tuhan/Hyang Widdhi/Yang Maha Kuasa.

https://singaraja.wordpress.com/2008/04/11/bagaimana-umat-hindu-menghayati-tuhan/

Tempat dan Arah Memuja Tuhan hindu (dengan logika mudah)


Umat Hindu meyakini bahwa alam semesta dengan bintang dan planet-planet di ruang angkasa yang tidak terlihat oleh mata bahkan oleh teropong bintang sekali pun, sebenarnya ada dalam diri Hyang Widhi. Bumi kita tidak lebih dan sebuah sel Hyang Widhi.

Kalau kita bandingkan diri kita setitik air di dalam samudra, titik air ini tidak boleh mengatakan dirinya samudra, karena di dalam samudra titik air ini merupakan bagian yang amat kecil. Dalam titik air ini, sifat asin samudra ada. Demikian pula manusia walaupun ada di dalam diri Tuhan tidak bisa mengatakan dirinya Tuhan, meskipun sifat-sifat ketuhanan itu ada dalam diri manusia.

Dalam susunan yang demikian itu maka sulit untuk mengatakan di mana sebenamya Tuhan itu bertahta. Tuhan ada di mana-mana. Tidak ada tempat yang tidak ditempati Tuhan. Jika Tuhan ada di mana-mana, mengapa manusia memuja Tuhan di pura atau di tempat suci lainnya? Apa perlunya membuat pura? Bukankah dari tempat tidur atau sambil jongkok, kita bisa bersembahyang?

Memang, tetapi cara yang paling mudah dan indah untuk mendekati Tuhan adalah melalui rasa. Untuk membangkitkan rasa agama, rasa cinta kepada Tuhan, maka perlu kondisi yang bisa menggiring rasa ketuhanan muncul dan bergelora dengan mantap. Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu membuat pura di tempat-tempat yang indah, tempat-tempat bersejarah atau tempat-tempat yang bisa membangkitkan kekaguman akan kebesaranTuhan.

Sad Kahyangan di Bali yang merupakan pura inti seperti Pura Besakih, Batur, Lempuyang, Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu dan ribuan pura lainnya, semuanya dibangun di tempat yang penuh ketenangan, keindahan dan keagungan. Di tempat-tempat ini, orang akan merasa kecil di tengah-tengah kebesaran dan keindahan alam yang diciptakan Hyang Widhi.

Dalam kondisi demikian, maka orang akan mudah mengagumi dan menghormati Tuhan. Di tempat yang demikian rasa ego akan lenyap diganti oleh rasa kagum dan hormat, maka konsentrasi pikiran kepada Tuhan akan lebih mantap.

Karena kita ingin mewujudkan kondisi yang suci itu, maka bahan dan bentuk pura pun tidak dibuat menyerupai rumah tempat tinggal atau gedung perkantoran. Bagi umat Hindu, pura adalah Kahyangannya Tuhan. Oleh karena itu, pura dibuat dari bahan-bahan tertentu, sehingga bila memasuki pura, kita merasa masuk ke Kahyangan dan Tuhan pun rasanya ada di sana.

Menghadap ke manakah kita bersembahyang? Gunung dan tempat matahari terbit merupakan kiblat bagi umat Hindu menundukkan kepala kepada Hyang Widhi. Kenapa ke arah gunung? Karena gunung dikenal dengan sebutan Acala Lingga, yang berarti tempat Tuhan yang tidak bergerak. Umat Hindu meyakini, gunung adalah linggih (tempat) Hyang Widhi. Mengapa Tuhan dipuja di puncak gunung? Bukankah Tuhan ada di mana-mana?

Benar, Tuhan ada di mana-mana. Tetapi umat meyakini bahwa untuk memuliakan Tuhan, maka Beliau ôditempatkanِ di tempat yang lebih tinggi. Makin tinggi suatu tempat, makin mulialah yang dipuja. Itu pula sebabnya gunung Mahameru yang tertinggi di India dianggap sebagai linggih Siwa. Di Pulau Jawa, Gunung Semerulah yang dianggap paling tinggi oleh umat Hindu sejak zaman dulu. Sedang di Pulau Bali Gunung To Langkir atau Gunung Agung merupakan linggih Hyang Widhi (Siwa). Di pura, bangunan meru¦bangunan yang tertinggi¦dilambangkan sebagai gunung. Kata meru mengingatkan kita kepada Gunung Mahameru dan Semeru.

Selain dianggap Acala Lingga, gunung mempunyai arti penting bagi umat Hindu karena memberikan kemakmuran. Dengan hutan dan tanahnya yang subur, gunung berfungsi menyimpan air hujan lalu sedikit demi sedikit dialirkan melalui sungai, sehingga hampir sepanjang tahun manusia menikmati aliran sungai yang tidak henti-hentinya mengalir baik untuk diminum maupun untuk mengairi sawah. Karena itu gunung bisa disebut waduk ciptaan Tuhan. Maka wajar dan sepatutnyalah kalau umat Hindu menghadap ke gunung dalam bersembahyang, karena dari sanalah Tuhan menyampaikan anugrah. Melalui gunung pula umat Hindu menyampaikan rasa terimakasih.

Perwujudan rasa hormat itu, tampak pula pada etika yang hidup dalam masyarakat Hindu. Arah kaja (utara) dianggap sebagai hulu. Kata kaja berasal dan kata ke adya yang berarti ke gunung (adya artinya gunung). Kata utara berasal dan urat kata udyang artinya menonjol atau menjulang. Yang dimaksud dengan ômenjulang dalam hal ini adalah tanah yang menjulang tinggi atau gunung. Sedangkan kelod (selatan) berasal dan kata ôke lautِ dan dianggap sebagai hilir.

Dalam masyarakat, lebih-lebih di pegunungan, posisi tidur juga diatur norma atau etika berdasarkan letak gunung. Pada saat tidur, kepala berada di arah gunung, karena gunung dianggap sebagai hulu atau kepala. Di beberapa daerah, dalam menguburkan mayat, letak kepala si mayat harus ada di arah gunung.

Sebagaimana disebutkan tadi, arah matahari terbit juga dianggap suci. Letak bangunan pura umat Hindu sebagian besar terletak di arah timur menghadap ke barat, sehingga orang yang sembahyang akan menghadap ke timur. Mengapa arah matahari terbit itu disucikan? Karena matahari itu adalah simbul kekuasaan Hyang Widhi. Menurut para ahli ilmu bumi, planet bumi kita berasal dari pecahan matahari. Dalam agama Hindu disebutkan, jazad manusia terdiri dan unsur Panca Maha Bhuta, yaitu pretiwi (tanah), apah (zat cair), teja (panas), bayu (angin), dan akasa (angkasa atau zat ether). Kekuatan yang ditimbulkan matahari menyebabkan bumi berputar, angin dan air beredar. Dengan sinar matahari semua makhluk bisa hidup. Matahari adalah sumber energi. Tanpa matahari kehidupan tidak mungkin ada.

Dalam Nitisastra disebutkan,jika saat tidur kepala berada pada arah matahari terbit (timur) maka akan menyebabkan panjang umur. Jika saat tidur kepala berada pada arah gunung, maka akan menyebabkan murah rezeki. Dalam kenyataannya, sebagaimana telah banyak disinggung, matahari merupakan sumber kehidupan dan gunung memberikan kemakmuran.

Mengapa Tuhan disebut melinggih (bertempat) di gunung, matahari dan pura? Bukankah Tuhan ada di mana-mana dan menguasai alam semesta?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya kita dapat mengambil contoh: seorang tuan tanah yang memiliki tanah berhektar-hektar. Jika tuan tanah ingin melihat tanahnya, dia akan memilih tempat yang lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya. Dengan begitu dia akan dengan mudah melihat atau mengawasi miliknya. Demikianlah Tuhan sebagai penguasa alam, ômenganggapِ matahari dan gunung milik-Nya yang tertinggi dan terbaik untuk mengawasi seluruh alam dan segala isinya. Tapi ini hanya sekadar contoh untuk memudahkan pemahaman.

Demikianlah mengapa umat Hindu mencakupkan tangan memuja Tuhan ke arah matahari terbit, atau ke arah gunung. Karena dari tempat dan arah itu Hyang Widhi dipercaya mengawasi dan menyampaikan kasih berupa anugrah yang melimpah kepada semua makhluk. Maka sudah sepatutnya, dari mana datangnya kasih, melalui itu pula umat Hindu menundukkan kepala menyatakan terima kasih.

Sumber: Buku “Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan“

Senin, 16 April 2018

Apakah Tuhan Punya Wujud? (logika mudah)

Selanjutnya marilah kita mencari jawaban pertanyaan ini: 

Apakah Tuhan dalam agama Hindu mempunyai wujud? 

Apakah Tuhan sama seperti manusia sehingga kepadaNya kita mempersembahkan sesajen yang terbuat dari bermacam-macam makanan? 

Mengapa pula umat Hindu membuat patung-patung yang disakralkan?

Untuk memahami ini, maka kita hendaknya tidak hanya melihat filsafatnya saja. Kita mesti memahami pula bagaimana cara-cara penghayatan umat Hindu yang awam.

Simaklah arti bait kedua mantram Trisandhya:
OM Sang Hyang Widhi yang diberi gelar Narayana, segala makhluk yang ada berasal dari Hyang Widhi, Dikau bersfat gaib, tak berwujud, tak terbatas oleh waktu, menguasai segala kebingungan, tak termusnahkan, Dikau Maha Cemerlang, Maha Suci, Maha Esa tidak ada duanya, disebut Narayana dan dipuja oleh semua mahluk.

Di sini jelas bahwa Tuhan, Sang Hyang Widhi Wasa, tidak berwujud dan tidak dapat diwujudkan. Tetapi mengapa ada patung-patung dewa? Apakah umat Hindu berarti menyembah berhala pula? Mengapa tidak konsekwen menyembah satu Tuhan?

Mari kita lepaskan dulu prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi ini, meskipun datangnya dari orang yang mengaku atau merasa intelektual dan modern. Kita tahu, bahwa semua bangsa di dunia mencintai dan menghormati bangsanya. Tetapi cobalah tanya, bagaimana wajah bangsanya? Tidak seorang pun tahu dan bisa menjelaskan bagaimana rupa sebenarnya dari apa yang disebut bangsa itu. Karena itulah, semua bangsa membuat simbol. Bangsa Indonesia menggambarkan simbol bangsanya dengan bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, dan sebagainya. Apakah memang begitu wajah Bangsa Indonesia? Bukankah bendera Merah Putih itu hanya secarik kain yang terdiri dari kain berwama merah dan putih? Apakah kita menghormati kain? Bukankah kain itu ciptaan manusia? Kita menghormati Garuda Pancasila, tapi apakah Garuda Pancasila itu persis sama dengan burung Garuda? Apakah kita termasuk penganut totem yang menghormati binatang? Kita bisa menjawab dengan gampang: tidak! Bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, hanya simbul yang sangat berguna untuk memantapkan rasa hati berbangsa.

Perhatikanlah, pada saat bendera dinaikkan dalam upacara, baik orang yang rasional maupun yang irrasional dengan tertib dan hikmad memberi hormat kepada bendera itu, meskipun semua orang tahu bendera itu terbuat dari kain ciptaan manusia. Keanehan ini timbul karena keinginan, naluri manusia, yang memvisualisasikan bentuk-bentuk yang abstrak, agar lebih mudah dimengerti atau dihayati oleh orang awam.


Demikianlah Tuhan dalam agama Hindu, sudah jelas disebutkan dalam Weda, bahwa la tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan dipikirkan pun tidak. Tetapi kalau orang yang sembahyang tidak menggambarkan bentuk yang disembah itu, maka konsentrasinya tidak akan bisa sempuma. Meskipun tidak berwujud patung, orang yang sembahyang tentu menggambarkan Tuhan itu dalam hatinya, minimal dalam bentuk pikiran. Nama pun adalah sebuah simbul. Adanya sebuah nama, tentu karena didahului oleh adanya sebuah bentuk, walaupun abstrak.

Istilah Tuhan, Hyang Widhi, dan nama apapun yang diberikan menurut agama lain atau daerah tertentu adalah simbul untuk menamai bentuk pikiran yang tidak dapat dilukiskan karena abstraknya. Kecenderungan ingin melukiskan Tuhan atau dewa dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa bhakti (cinta). Sebagaimana halnya seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita sampai pada tingkat madnes (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya seakan-seakan bantal guling itu kekasihnya. Bila yang sedang dimabuk asmara itu suka membaca atau mengarang puisi, maka ia menggambarkan wanita itu dengan saiak-sajaknya, yang penuh dengan perumpamaan. Misalnya, matanya seperti bintang timur, mukanya seperti bulan purnama, bibirnya merah seperti merah delima dan sebagainya. Padahal, cobalah pikir,jika ada wanita yang matanya persis menyerupai bintang timur dan mukanya bulat seperti bulan purnama, wanita itu barangkali tidak bisa disebut cantik.

Tetapi, itulah simbul, ekspresi yang muncul dari perasaan cinta. Demikian pulalah umat Hindu yang  tergila-gila ingin menggambarkan Tuhan-nya, dewanya. Mereka membuat patung sebagai wujud perasaan cintanya, diberi perhiasan, dipuja, dan tidak pernah terpikirkan dalam hatinya bahwa patung itu adalah sebuah kayu yang diukir.

Tuhan, Hyang Widhi Wasa yang abstrak, sulit dimengerti orang awam. Seperti halnya murid TK kelas Nol kecil. Dia tidak bisa membayangkan berapa tiga ditambah tiga, karena pengertian tiga itu abstrak. Maka Ibu Guru menggambar bulatan menyerupai telur di papan tulis sebanyak tiga tambah tiga.
Ibu Guru bertanya , Ini apa anak-anak? , "telur" Seluruh anak menjawab serentak,
"Berapa jumlah telur ini anak-anak? " tanya bu Guru lagi. "6" Jawab Anak-anak.

Berbohongkah Ibu Guru kita itu?
Bukankah yang ada di papan tulis bukan telur melainkan kapur? Anak-anak pun merasa tidak perlu mempersoalkan, apakah gurunya berbohong atau tidak. Anak-anak tidak merasa dibohongi, dan Ibu

Gurunya pun tidak bermaksud membohongi dalam kasus metode proses belajar mengajar ini. Karena anak-anak yang belum mampu membayangkan sesuatu yang abstrak perlu visualisasi (peragaan), dan contoh itu tidak mesti harus persis dengan kenyataan sebenamya. Begitulah, orang sulit membayangkan Tuhan bila tidak dibantu dengan membuat bentuk. Mereka tidak dapat membayangkan Tuhan seindah aslinya karena mata kepalanya tidak pernah melihat.

https://singaraja.wordpress.com/2008/04/11/bagaimana-umat-hindu-menghayati-tuhan/

Perbedaan Nama Tuhan dalam Hindu & Memahami Tuhan (dengan Logika yang ringan)

Dalam Hindu sangat menghargai perbedaan dan mengakomodasi local genius, sehingga Hindu tidak merubah budaya dasar suatu tempat, dan faktanya orang lebih nyaman berbicara dengan bahasa Ibunya dibandingkan dengan bahasa Asing. Oleh karena itu maka ada kata Tuhan (Indonesia), GOD (English), atau Sang Hyang Widhi di Bali.
Tak heran bila Tuhan Dalam Hindu di sebut dengan berbagai nama “Ekam Sat Viprah Vahuda Vadanti”, Tuhan Hanya Satu, Para bijaksana memberi banyak nama. Widhi Artinya Maha Tahu, Melenyapkan Kegelapan..

Hindu memang berbeda dengan Islam, jadi wajar kalo pengajarannya juga beda. Seperti orang Eropa nyaman makan roti, dan orang Indonesia nyaman makan nasi, kan tidak mesti orang Eropa ikut-ikutan orang Indonesia, demikian juga sebaliknya, tidak mesti orang Indonesia ikut-ikutan orang Eropa,

https://singaraja.wordpress.com/2008/04/11/bagaimana-umat-hindu-menghayati-tuhan/

Ada orang bernaina Sunu. Jabatan Sunu dalam lembaga pemerintahan adalah sebagai direktur. Karena itu, semua pegawai bawahannya memanggil Pak Sunu dengan sebutan Pak Direktur. Tetapi Pak Sunu ini juga sebagai rektor dari sebuah perguruan tinggi, sehingga semua mahasiswanya memanggil dengan nama Pak Rektor. Di rumah, sebagai seorang suami, istrinya memanggil dengan ucapan beli yang artinya kakak (kanda). Sebagai seorang ayah, Pak Sunu dipanggil anaknya dengan sebutan aji atau bapa yang artinya bapak atau ayah. Apakah nama yang banyak ini berarti orangnya banyak? Tidak, kan? Karena orang itu hanya satu, yaitu Pak Sunu sendiri. Pak Sunu menyandang banyak sebutan atau nama, dan setiap nama yang dipakainya itu benar, sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Jadi, nama ini erat sekali hubungannya dengan fungsi atau tugas. Demikian pula Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau disebut Brahma pada waktu menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Beliau juga disebut Wisnu pada waktu memelihara semua ciptaannya dengan penuh cinta kasih. Beliau disebut Siwa pada waktu mengembalikan ciptaannya ke asalnya.

Sehubungan dengan fungsi Siwa ini, orang Barat banyak yang keliru memberikan tafsir. Mereka mengatakan Siwa adalah Dewa Perusak, melakukan pralina dengan terjemahan to destroy. Padahal arti sebenarnya yakni, mengubah dan bentuk sekarang ke bentuk semula (asal)ِ. Misalnya, tubuh manusia yang kekar dan gagah, setelah meninggal akan hancur menjadi pretiwi (tanah), apah (zat cair), bayu (angin), teja (panas), dan akasa (ether). Karena lima unsur yang disebut Panca Maha Butha itulah asalnya manusia. Jadi istilah ôperusakِ atau ôpenghancurِ kurang tepat, karena konotasinya negatif. Jika istilah ini dibiarkan terus berdengung tanpa ada usaha meredam, maka jangan-jangan nanti umat Hindu ditafsirkan memuja Dewa Perusak.

Sebagaimana diyakini, Tuhan menciptakan hukum alam, hukum yang mengatur perputaran alam semesta. Planet-planet berputar teratur tanpa bertabrakan. Semua makhluk, lahir, hidup dan mati. Planet bumi berputar tidak henti-hentinya. Perubahan di dunia fana ini adalah hukum yang abadi. Segala sesuatu yang diciptakan, setelah dinikmati dan dipelihara akan kembali musnah. Semua manusia yang lahir, mau tak mau harus siap menghadapi hidup dan akhirnya antre menuju pintu kematian. Lahir, hidup dan mati adalah hukum alam yang diciptakan Tuhan. Tidak ada kekuatan manusia pun yang bisa menghindari hukum abadi ini.

Kekuasaan hukum itulah yang dimanifestasikan dan dipersonifikasikan sebagai Dewa Brahma (pencipta), Dewa Wisnu (pemelihara), Dewa Siwa (pengembali). Bayangkan, apa jadinya seandainya semua makhluk yang lahir di atas bumj ini tidak ada yang mati. Pada saat tertentu tempat berdiri pun tidak ada. Itulah sebabnya, adalah keliru kalau semua bentuk kematian dinilai jelek. Jangan pula kehancuran itu ditakuti, karena tidak semua bentuk kehancuran itu jelek. Bukankah untuk membangun yang baru, harus menghancurkan yang lama terlebih dahulu?


Nah, lalu apa pula dewa itu?
 Dewa adalah tidak lain dari sinar kekuasaan Tuhan. Kata dewa berasal dan urat kata div yang artinya sinar. Ambilah contoh matahari. Kalau dunia ini diatur oleh matahari yang satu, maka hidup semua makhluk pun dipengaruhi oleh sinar matahari yang satu itu pula. Air laut diterpa sinar matahari lalu menguap menjadi embun dan jatuh menjadi hujan. Maka terbentuklah sungai yang mengalirkan air itu. Jika tidak ada panas matahari, maka air laut pun tidak menguap.

Begitu pula, angin beredar karena adanya perbedaan padatnya tekanan udara di suatu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan tekanan udara itu ditimbulkan oleh perbedaan panas sebagai akibat perbedaan penyinaran matahari. Andai kata angin tidak beredar, maka betapa panasnya dunia ini.
Lalu kita tahu pula, tumbuh-tumbuhan hidup karena sinar matahari. Ya, semua makhluk bisa hidup dengan baik akibat sinar matahari. Bola matahari itu sendiri tidak pernah menempel pada bumi. Hanya sinarnya saja yang menyentuh bumi.

Begitulah Tuhan, bila diumpamakan bagaikan matahari. Sinar-sinarnya adalah dewa. Sinar itu tidak lain dari sinar yang timbul dari kekuatan matahari. Bila matahari tidak ada, maka sinar itu pun tidak ada. Dewa-dewa pun begitu juga. Bila Tuhan tidak ada, dewa-dewa pun tidak ada.

https://singaraja.wordpress.com/2008/04/11/bagaimana-umat-hindu-menghayati-tuhan/

Awatara yang pernah hidup di Bumi

D. Jenis-jenis Awatara 
Menurut kitab-kitab purana, tak terhitung banyaknya Awatara yg pernah turun ke dunia ini. Awatara-awatara tsb tidak selamanya merupakan “inkarnasi langsung” atau “penjelmaan langsung” dari Sang Hyang Wisnu.

Beberapa Awatara diyakini memiliki “jiwa yg terberkati” atau mendapat “kekuatan Tuhan” sebagai makhluk yg terpilih.
1. Purusha Awatara: Awatara pertama Sang Hyang Wisnu yg mempengaruhi penciptaan alam semesta. Awatara tsb yakni: Vasudeva Sankarshan Pradyumna Aniruddha

Menurut Bhagavad Gītā:
·     Kāranodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu) :
Wisnu yg berbaring dalam lautan penyebab dan Beliau menghembuskan banyak alam semesta (galaksi?) yg jumlahnya tak dapat dihitung;

·     Garbhodakaśāyī Vishnu: Wisnu masuk ke dalam setiap alam semesta dan menciptakan aneka rupa;

·     Ksirodakasāyī Vishnu (Roh utama): Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan ke dalam setiap atom.

2. Guna Awatara: Awatara-Awatara yg mengatur tiga macam aspek dalam diri makhluk hidup. Awatara-Awatara tsb yakni: Brahmā, pengatur nafsu dan keinginan (Rajas) Wisnu, pengatur sifat-sifat kebaikan (Sattwam) Çiwa, pengatur sifat kemalasan (Tamas)

3. Lila Awatara: Awatara yg sering ditampilkan dalam kitab-kitab Purana, seperti Dasa Awatara dan Awatara lainnya. Awatara tsb turun secara teratur ke dunia, dari zaman ke zaman untuk menjalankan misi menegakkan Dharma dan menunjukkan jalan Bhakti dan Moksha.

4. Manwantara Awatara:
Awatara yg diyakini sebagai pencipta para leluhur dari umat manusia di muka bumi. (lihat: Manu)

5. Shaktyawesa Awatara: ada dua jenis –
1) makhluk yg merupakan penjelmaan Wisnu secara langsung;
2)makhluk diberkati yg mendapatkan kekuatan dari Wisnu. Jenis tsb memiliki jumlah yg besar, dan merupakan Awatara yg istimewa.
Awatara jenis ini, misalnya saja Narada Muni atau Sang Buddha. Awatara jenis tsb kadang2 dikenal dg sebutan Saktyamsavatar, Saktyaveshavatar atau Avesha avatar.

Awatara lain yg termasuk jenis kedua, misalnya Parashurama, yg mana Dewa Wisnu tidak secara langsung menjelma.

Dalam jenis yg kedua tsb , menurut Srivaishnavism, ada dua macam lagi, yakni:
1)Wisnu memasuki jiwa makhluk yg terpilih tsb (seperti Parashurama);
2)Wisnu tidak memasuki jiwa secara langsung, namun memberikan kekuatan suci (misalnya Vyasa, penyusun Veda). Awatara jenis kedua tsb tidak dipuja sebagaimana mestinya Awatara yg lain.

Hanya Awatara yg merupakan penjelmaan langsung yg kini sering dipuja, seperti Narasimha, Rama, dan Sri Krishna. Menurut aliran Waisnawa, Krishna merupakan Awatara yg tertinggi di antara Awatara yg lain. Namun, pengikut Sri Chaitanya (termasuk ISKCON), Nimbarka, Vallabhacharya memiliki filsafat berbeda dengan pengikut aliran Waisnawa, seperti Ramanuja dan Madhva dan menganggap bahwa Krishna merupakan kepribadian dari Tuhan yg Maha Esa, dan bukan seorg Awatara belaka.

Dalam beberapa filsafat Hinduisme, tidak ada perbedaan dalam memuja Sang Hyang Wisnu ataupun Awataranya karena semua pemujaan tsb akan menuju kepada-Nya.

E. Awatara-Awatara dalam Purana
Dalam kitab-kitab Purana, dikenal adanya 25 Awatara merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Awatara-Awatara tsb yakni:
1. Catursana (empat putra Brahmana)
2. Narada (sang org bijak yg senang mengembara)
3. Waraha (sang babi hutan)
4. Matsya (sang ikan)
5. Yadnya
6. Nara-Narayana (si kembar)
7. Kapila (sang pujangga)
8. Dattatreya
9. Hayagriwa (sang kuda)
10. Hangsa (sang angsa)
11. Presnigarba
12. Resaba (ayah Raja Bharata)
13. Pertu
14. Narasimha (sang manusia-singa)
15. Kurma (sang kura-kura)
16. Dhanwantari (ayah dari Ayurweda)
17. Mohini (wanita cantik)
18. Wamana (org cebol)
19. Parasurama (sang ksatria)
20. Ramacandra (Raja Ayodhya)
21. Byasa (penulis Weda)
22. Balarama (kakak Kresna)
23. Kresna (sang gembala)
24. Buddha (Siddharta Gautama)
25. Kalki (sang penghancur)

F. Makna dan filsafat
Beberapa org meyakini bahwa filsafat Dasa Awatara menunjukkan perkembangan kehidupan dan peradaban manusia di muka bumi. Setiap Awatara merupakan lambang dari setiap perkembangan zaman yg terjadi.

1.  Matsya Awatara merupakan lambang bahwa kehidupan pertama terjadi di air.
2.  Kurma Awatara menunjukkan perkembangan selanjutnya, yakni munculnya hewan amphibi.
3.  Waraha Awatara melambangkan kehidupan selanjutnya terjadi di darat.
4.  Narasimha Awatara melambangkan evolusi mamalia.
5.  Wamana Awatara melambangkan perkembangan makhluk yg disebut manusia namun belum sempurna.
6.  Parashurama Awatara, pertapa bersenjata kapak, melambangkan perkembangan manusia di tingkat yg sempurna.
7.  Rama Awatara melambangkan peradaban manusia untuk memulai pemerintahan.
8.  Krishna Awatara, yg mahir dalam enam puluh empat bidang pengetahuan dan kesenian melambangkan kecakapan manusia di bidang kebudayaan dan memajukan peradaban.
9.  Balarama Awatara, Kakak Kresna yg bersenjata alat pembajak sawah, melambangkan peradaban dalam bidang pertanian.
10.  Buddha Awatara, yg mendapatkan pencerahan, melambangkan kemajuan sosial manusia.

Awatara yg turun ke dunia juga memiliki makna-makna menurut zamannya: masa para Raja meraih kejayaan dengan pemerintahan Rama Awatara pada masa Treta Yuga, dan keadilan sosial dan Dharma dilindungi oleh Sri Kresna pada masa Dwapara Yuga.

Makna dari turunnya para Awatara selama masa Satya Yuga menuju Kali Yuga juga menunjukkan evolusi makhluk hidup dan perkembangan peradaban manusia. Awatara-awatara dalam daftar di atas merupakan inkarnasi Wisnu, yg mana dalam suatu filsafat merupakan lambang dari takaran dari nilai-nilai kemasyarakatan.

Istri Dewa Wisnu bernama Laksmi, Dewi kemakmuran. Kemakmuran dihasilkan oleh masyarakat, dan diusahakan agar terus berjalan seimbang. Hal tsb dilambangkan dengan Dewi Laksmi yg berada di kaki Dewa Wisnu. Dewi Laksmi sangat setia terhadapnya.

Filsafat Catur Yuga yg merupakan masa-masa yg menjadi latar belakang turunnya suatu Awatara dideskripsikan sebagai berikut:
1.Satya Yuga dilambangkan dengan seseorg membawa sebuah kendi (kamandalu)
2.Treta Yuga dilambangkan dengan seseorg yg membawa sapi dan sauh
3.Dwapara Yuga dilambangkan dengan seseorg membawa busur panah dan kapak
4.Kali Yuga dilambangkan dengan seseorg yg sangat jelek, telanjang, dan melakukan tindakan yg tidak senonoh.

Jika deskripsi di atas diamati dengan seksama, maka masing-masing zaman memiliki makna tersendiri yg mewakili perkembangan peradaban masyarakat manusia.
Pada masa pertama, Satya Yuga, ada peradaban mengenai tembikar, bahasa, ritual (yajña), dan sebagainya. Pada masa yg kedua, Treta Yuga, manusia memiliki kebudayaan bertani, bercocok tanam dan beternak. Pada masa yg ketiga, manusia memiliki peradaban untuk membuat senjata karena bidang pertanian dan kemakmuran perlu dijaga. Yuga yg terakhir merupakan puncak dari kekacauan, dan akhir dari peradaban manusia.

G. Org-org yg diyakini sebagai Awatara
Selain awatara-awatara yg disebutkan dalam kitab-kitab Purana dan Veda, beberapa di antara org India dan Hindu dianggap sebagai awatara oleh umat yg meyakininya. Mereka adalah org-org dengan kekuatan jasmani dan rohani yg luar biasa jika dibandingkan dengan manusia normal dan diyakini sebagai penitisan Tuhan atau manifestasinya. Mereka adalah:
1.  Sri Ramakrishna (1836–1886) dan Sri Sarada Devi (1853–1920). Ramakrishna pernah berkata kepada Swami Vivekananda: “Beliau yg disebut Rama dan Krishna sedang berada disini, di tubuh ini, Ramakrishna”. Sarada Devi, istri Ramakrishna, diyakini sebagai penjelmaan (Awatara) Dewi Kali.
2.  Shirdi Sai Baba (1838-1918) beberapa pengikutnya meyakini bahwa Beliau adalah awatara dari Datthatreya dan Siwa.
3.  Hans Ji Maharaj (1900–1966)
4.  Jagadguru Kripaluji Maharaj (1922-sekarang) diyakini sebagai Awatara dari Sri Krishna dan Sri Caitanya Mahaprabu oleh pengikutnya.
5.  Mahavatar Babaji Meher Baba (1894-1969) yg menyatakan bahwa beliau adalah awatara terakhir pada zaman Kali Yuga
6.  Bunda Meera (1960-sekarang) diyakini sebagai Awatara dari Adipara-Shakti
7.  Narayani Amma (1976-sekarang) diyakini sebagai Awatara Narayani sejati
8.  Sathya Sai Baba (1926?-1929?-sekarang) dianggap dan dipercaya sebagai awatara dari Siwa, Shakti, dan Krishna. Kebangkitannya diprediksi oleh Sai Sirdhi, yg berkata “Akan lahir seorg anak dengan nama ‘Narayana’ (kebenaran); selain itu diprediksi oleh Sang Buddha (Siddharta Gautama); Paus John XXIII; dan Nostradamus.

Beberapa umat Hindu dengan kacamata universal juga meyakini bahwa beberapa tokoh-tokoh /nabi-nabi agama lain adalah awatara (inkarnasi Tuhan). Tokoh-tokoh tsb yakni:
1.  Adi Da (1939-sekarang) bergelar “Avatar Adi Da Samraj”.
2.  Bahá'u'lláh (1817–1892) dipercaya sebagai Kalki Awatara.
3.  Gautama Buddha( 563 – 483 SM – 543 SM )  Awatara Wisnu ke9.
4.  Jesus (4 SM-36) agama Kristen.
5.  Mahavira (599 SM -527 SM)  Jainisme.
6.  Samael Aun Weor (1917-1977) dianggap sebagai Kalki Awatara sejati dan Buddha Maitreya.
7.  Zoroaster (Zarathustra) nabi Zoroastrianisme. 

Selasa, 03 April 2018

Sinestesia... Indera ke 6 dan X-man

Apa itu sinestesia?
Sinestesia adalah fenomena neurologis di mana otak menimbulkan beberapa persepsi berupa penglihatan, suara, ataupun rasa dari suatu respon indera. Istilah ini sudah dikenal sejak abad ke-19, ditemukan berdasarkan laporan orang-orang yang mengaku melihat warna lain saat mereka menulis hanya menggunakan pena hitam.

Setiap orang yang memiliki sinestesia memiliki persepsi berupa penglihatan, pendengaran, atau sensasi lainnya dari hal-hal yang biasanya tidak menimbulkan respon indra tersebut. Misalnya, ia akan langsung melihat warna merah saat ia mendengar atau membaca kata “Senin”, sedangkan setiap mendengar atau melihat kata “Selasa” ia akan langsung melihat warna biru.

Empat jenis sinestesia
Hingga saat ini terdapat beberapa jenis sinestesia yang sudah dikenali, di antaranya:

Warna – merupakan jenis sinestesia yang paling umum, biasanya berkaitan dengan warna huruf atau kata. Misalnya seorang dengan sinestesia berpendapat huruf “A” berwarna merah dan “B” berwarna biru, namun persepsi warna dan huruf tersebut dapat berbeda pada orang lain dengan sinestesia.

Pola atau bentuk – mengasosiasikan suatu kata dengan bentuk atau pola tertentu, misalnya kata saat mendengar “bulan” berkaitan dengan pola spiral atau lingkaran.

Rasa dan aroma – sinestesia yang memicu persepsi rasa terjadi saat seseorang mengalami sensasi pengecap, tekstur, ataupun suhu saat melihat warna atau mendengar suatu kata. Ada juga stimulus yang berkaitan dengan suatu aroma atau bau tertentu, yang muncul terkait bentuk atau warna, namun jenis sinestesia ini termasuk jarang.

Sensasi sentuhan – merupakan jenis sinestesia yang menimbulkan presepsi seperti disentuh saat melihat orang lain disentuh. Sebaliknya, ada juga orang yang mengalami sensasi penglihatan atau warna setiap kali ia disentuh.

Apa penyebab sinestesia?
Terdapat suatu teori yang menjelaskan bahwa fenomena sinestesia terjadi karena otak orang tersebut memiliki sambungan neuron yang berbeda, atau memiliki sambungan ekstra dibandingkan otak pada umumnya. Hal ini dibuktikan dengan suatu studi pencitraan otak yang menunjukkan bahwa otak seseorang yang mengalami sinestesia mengalami peningkatan aktivitas pada bagian yang memproses warna, bersamaan saat sedang mendengar suatu kata.

Gejala sinestesia dapat muncul semenjak usia anak-anak. Tidak diketahui secara pasti bagaimana seseorang dapat memperoleh sinestesia, namun fenomena ini dapat diturunkan dalam keluarga. Sinestesia juga memiliki pola hereditari yang unik karena tidak selalu muncul di setiap generasi dan setiap anggota keluarga dapat memiliki jenis sinestesia yang berbeda. Hal ini menunjukkan selain faktor genetik, lingkungan juga dapat mempengaruhi.

Apa yang dirasakan oleh seseorang yang memiliki sinestesia?
Para peneliti berpendapat bahwa fenomena sinestesia merupakan suatu kelebihan yang mempengaruhi kinerja otak. Akan tetapi menurut suatu hasil wawancara dilansir NHS Inggris, individu dengan sinestesia memiliki pendapat yang bervariasi akan kondisinya. Sebagian besar memiliki pendapat positif dan beberapa berpendapat netral karena sudah terbiasa dan tidak mengganggua aktivitas mereka, namun sebagian kecil berpendapat bahwa gejala sinestesia dapat mengganggu saat sedang berpikir.

Salah satu keuntungan yang mungkin dialami seseorang dengan sinestesia adalah otak yang lebih kreatif. Seorang ilmuan neurologi kognitif Vilayanur Ramachan (seperti yang dilansir LiveScience) berpendapat sinestesia merupakan mutasi genetik yang tidak hanya membuat seseorang merasakan sensasi yang tidak biasa, namun juga dapat memunculkan ide dan mendorong kreativitas yang lebih besar. Terlebih lagi fenomena sinestesia lebih besar ditemukan pada kelompok seniman, penyair dan novelis dibandingkan pada kelompok lainnya.

Sayangnya tidak semua orang memiliki sinestesia sepanjang hidupnya karena fenomena ini dapat berakhir. Terdapat beberapa kasus di mana seseorang pernah mengalami sinestesia namun sudah tidak memilikinya lagi. Hal dapat dikarenakan otak terus mengalami perubahan dari masa anak-anak hingga dewasa.

Hal lain yang dapat memicu gejala serupa dengan sinestesia
Gejala yang mirip dengan sinestesia dapat muncul saat seseorang berhalusinasi karena mengonsumsi obat halusinogen seperti asam lisegrat dietilmida (LSD). Namun pengalaman ini akan langsung hilang ketika sudah tidak dibawah pengaruh obat.

Sinestesia pada umumnya hanya terjadi dan disadari sejak usia muda, namun jika secara tiba-tiba terjadi pada orang dewasa, hal ini dapat menjadi pertanda adanya gangguan alat indera (pendengaran atau penglihatan) ataupun gangguan pada otak seperti penyakit stroke. Segera periksakan ke dokter jika Anda baru mulai mengalami gejala sinestesia secara tiba-tiba pada usia dewasa.

https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/sinestesia-adalah-merasakan-warna/

Indigo dan sinestesia

Indigo adalah salah satu dari dua belas warna kehidupan yang Nancy Tappe telah melihat seluruh energi di medan energi elektromagnetik manusia. Awalnya Nancy melihat sebelas warna, tetapi itu berubah pada akhir 1960-an dan awal 1970-an dan dia melihat warna lain di antara bayi. Dia menyebutnya indigo, warna antara biru dan ungu dalam spektrum warna. Butuh waktu empat puluh tahun untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi pola perilaku dan pengaruh Indigo yang konsisten. Sistem informasinya tentang warna-warni kehidupan berasal dari studi tentang warna dan kepribadian manusia.

Bentuk sinestesia Nancy sangat jarang; dia melihat warna dan merasakan bentuk. Pembaca dapat menemukan lebih banyak informasi tentang Nancy sendiri dan persepsinya di situs webnya sendiri. Sinestesiaa yang menarik lainnya adalah Derek Amato, yang baru-baru ini meluncurkan di Ingenious Minds. Derek melintasi suara dan bentuk, melihat / mengiringi musiknya melalui kotak hitam dan putih yang terus mengalir.

Saat ini para ilmuwan di seluruh dunia sedang mengerjakan sinestesia untuk menentukan bagaimana hal itu mempengaruhi pikiran dan tubuh mereka yang memiliki ciri-ciri otak yang aneh dan indah ini. Mereka menemukan bahwa sinestesia menjadi lebih umum, sekarang menjadi satu dari dua puluh orang. Ahli saraf berpacu untuk menemukan orang-orang berkulit hitam karena biasanya berjalan dalam keluarga.
www.allaboutindigos.com

Mengapa ada perbedaan usia twinflame?

http://www.spiritualunite.com/articles/twin-flame-age-difference/

Hubungan Twinflame lebih intens daripada hubungan lainnya. Ketika mereka bergabung dengan kesadaran yang tinggi, itu menjadi tantangan untuk mencintai dua bagian diri Anda.

Tidak mengherankan bahwa ada lebih banyak rintangan yang datang dengan twinflame. Bahkan mungkin menghasilkan perpisahan Twinflame

Ketika Anda berdua tidak siap untuk memiliki kedua bagian dari diri Anda sendiri, dunia memungkinkan Anda melalui beberapa reinkarnasi lain untuk mempersiapkan diri Anda lebih jauh.

Hubungan ini jarang terjadi, untuk memulai dengan hanya karena mengenali twinflame Anda merupakan tantangan tersendiri. Dibutuhkan beberapa reinkarnasi sebelum dua twinflames bertemu di ruang dan waktu yang tepat. Ini berarti bahwa Anda mungkin bertemu twinflame Anda pada tahap yang berbeda dalam kehidupan fisiknya.

Ini akan memerlukan perbedaan besar dalam usia, budaya, dan pendidikan di antara yang lain. Karena Anda bertemu di bidang fisik, semua perbedaan ini mungkin terbukti menjadi tantangan.

Namun, penting untuk menyadari bahwa Anda tidak dimaksudkan untuk bersama di pesawat ini. Anda dimaksudkan untuk mencapai kesadaran yang tinggi.

Perbedaan usua TwinFlame :
Anda reinkarnasi pada waktu yang berbeda
Ini juga berarti bahwa Anda harus secara sadar menghancurkan penghalang yang dibangun oleh masyarakat ini. Api kembar dapat memiliki perbedaan usia yang besar sekitar 10 hingga 40 tahun. Sementara jiwa Anda dilahirkan pada saat yang sama, itu mungkin telah masuk ke pesawat fisik di lain waktu, yang menghasilkan perbedaan usia yang sangat besar ini.

Jika selisih usia Anda kurang, itu berarti kedua jiwa Anda telah menyinkronkan diri mereka untuk membuat pertemuan lebih mudah, meskipun ini tidak selalu benar.

Sementara koneksi teraba, salah satu dari api kembar dapat membiarkan rasa takut menghalangi dan menyangkal koneksi.

Sebagai twinflame yang lebih matang, pekerjaan Anda saat ini adalah bersabar dan pengertian. Hadir dalam kehidupannya tetapi jangan memaksakan masalah. Anda akhirnya akan menemukan diri Anda lebih siap di masa depan.

Ringkasnya Kita tahu bahwa perbedaan usia twinflame terjadi karena kita bereinkarnasi pada waktu yang berbeda, pengalaman hidup kita berbeda. Unsur-unsur lain termasuk siklus karma kita dan tahapan siklus kematian / kelahiran kembali, itu adalah diskusi untuk lain waktu, kami meninggalkan Anda dalam damai.

http://www.spiritualunite.com/articles/twin-flame-age-difference/

The Top 10 Characteristics of Highly Evolved Beings

http://divine-cosmos.net/top-ten-characteristics-of-highly-evolved-beings.htm
There are two reasons that their existence is not apparent to us; (1) most of them exist in higher dimensions of our physical universe, so they're not visible to us, and (2) they aren't all that interested in direct interactions with a civilization as primitive as ours.  But rest assured that many of these civilizations are very interested in facilitating the evolution of Humanity and are doing so in a number of subtle ways behind the scenes.  This is a fascinating topic beyond the scope of this article that I may explore in the future, follow the blog to stay tuned.

I was inspired to write this article by the in-depth discussion of this topic found in the book Conversations with God, Book 4: Awaken the Species and this article is essentially a summary of that discussion peppered with my own insights.  So without further ado, let's dive into the top ten ways of being of highly evolved civilizations.

#1 – They Deeply Understand the Unity of All Life and Live Congruently
Highly evolved beings know the Oneness of all — they know we are all parts of a singular, yet multi-threaded, consciousness that is All That Is.  They know that any apparent separation is an illusion because everything is part of one thing and it is all interconnected and interdependent.  They know that any action they take that effects another being or thing ultimately effects everything else.

This is the single most important realization any being can have and in civilizations created by beings with this understanding it is the foundation of their way of life.  They deeply know that what they do to another they are ultimately doing to themselves — and hence they treat everyone and everything with great care and respect.

#2 – They Always Tell The Truth
Highly evolved beings always tell the truth.  They are essentially incapable of lying.  They have deeply learned that deceiving themselves or others is counterproductive to achieving their highest intentions and desires, so they have absolutely no interest in lying.  But even if they did, any attempt to do so would be easily detected by all those listening.

Highly evolved beings, and the civilizations that they create, embrace principles and ways of being that create highly beneficial outcomes for all. Their civilizations are characterized by cooperation, harmony, and love rather than competition, conflict, and fear.  The net result is civilizations where freedom, prosperity, and happiness abound.  Their example serves as a great model for Humanity to emulate if it truly wants to create the better world that many of us are hoping for.

What highly evolved civilizations you ask?  Well believe it or not, there are many highly evolved civilizations within our galaxy, and many more beyond.

At the level of consciousness of highly evolved beings, their ability to sense energy and vibration is greatly enhanced (everything is energy; matter, light, thoughts, emotion, etc) and so any attempt to communicate something that is untrue would be readily apparent to all listening.  At this level, a being cannot communicate something that is untrue and not radically alter the energy they are emitting.

In stark contrast, denial and deception run rampant in Humanity — we frequently lie to ourselves as well as others, and we are easily deceived.  Only by transcending separation consciousness, only when we realize that we are all expressions of the same one consciousness, the same one being, and by embracing the unity and equality of all beingness will we eliminate the need to deceive and avoid all the associated undesirable consequences.

As an example of how we lie to ourselves, consider the violence that is portrayed in our entertainment and its connection to the increasing violence in our society.  The portrayal of violence runs rampant in our movies and TV programs, in our video games, and even in our children's toys.  You'd have a hard time convincing a highly evolved being that the constant stream of violent images we bombard our children with has no effects on their beliefs, attitudes, and behavior.

Humanity, on the other hand, can't seem to admit that the increasing violence in our society arises, at least in part, from the continual onslaught of such images.  Because if we did, we'd have to do something about it, and we feel powerless, so we just ignore it.

This pattern of seeing self-damaging behaviors and then doing nothing about them is a classic sign of immature beings.  Highly evolved beings never hide from the truth, and they always speak the truth.  And of course, when they speak the truth they also take congruent and appropriate action which is the subject of the next two points.

#3 – They Always Do What They Say
Highly evolved beings have a habit of speaking their truth, and they also have a habit of following through with what they say they will do, whether it is said to others or themselves.  Their actions are always consistent with their words, they don't say one thing and do another.

Humans on the other hand, often say one thing and do another — and then ignore, deny, or lie about it!  Obvious examples abound.

For highly evolved beings, sticking to their word is a matter of honor and integrity.  If they don't think they'll be likely, or able, to do something they don't say it.  If on the other hand, they meant what they said, but later they find they can't keep their word because of unexpected circumstances, they will face it squarely and go talk to everyone involved to clear it up.  They will humbly and truthfully explain why they won't be able to do what you said.

#4 – They Always Do What Works
When highly evolved beings see a less than desirable situation and have understood why it exists, they always respond with something that works.  They do not ignore it, deny that it exists, cover it up, do something that doesn't address the true problem, or in some other way fail to take appropriate action — as is often the case with Humanity.

Examples abound, here are a few of them:

If our goal is to live a life of peace, joy, and love (which I sincerely hope it is), then violence does not work.  This is immensely obvious if you take but a moment to contemplate history — isn't it clear that retribution begets retribution, hate begets hate, violence begets violence.  And yet we repeat the pattern over and over.

If our goal is to live long and healthy lives, then consuming meat daily, smoking known carcinogens continuously, and drinking alcohol regularly does not work.  This has been amply proven, yet many of us continue to do these things.

If our goal is a society free of violence and war, then the modeling of violent behaviors and attitudes to your children, via our entertainment and toys, which has clearly been proven to facilitate the adoption of those violent tendencies, does not work and would be stopped immediately.  Yet, we do nothing.

#5 – They Never Kill Each Other
Highly evolved beings never, under any circumstances, kill another incarnate being unless specifically asked by the other to do so.  Within Humanity, murder and mass murder (war, etc) occur appallingly frequently.  We justify much of this behavior as "self-defense."

It's interesting to note that in primitive societies all attack is called "defense."  And of course, we certainly have the "right" to defend ourselves and do so in any way we see fit — after all, we are free and sovereign beings, so we "have the right" to do anything we please.  Yet, a highly evolved being would not kill another even in situations we would clearly consider self-defense.

This is because they understand that every act is an act of self-definition, every act defines who you are.  You are creating yourself in each and every moment by what you choose to do, so it boils down to deciding who and what you want to be. Do we want to define ourselves as ones who are willing to do anything to survive, and create a dog-eat-dog kind of world in the process?

Ultimately, highly evolved civilizations transcend the need to kill others because they no longer create situations where they would find themselves needing to kill.  And that's because they have awakened to their Oneness, and every aspect of their attitudes and behaviors have changed dramatically.

When Humanity fully awakens then all the conflict and competition will end — no more killing, no more dog-eat-dog world.  Instead, we will find ways to share everything and cooperate on a grand scale.  And this new found level of cooperation and sharing will create an unprecedented level of prosperity and happiness for all, and no one will ever have any reason to attack or defend (physically, emotionally, financially, etc) for any reason ever again.

In the rare case that an unenlightened person chose to mortally attack you, you would simply allow yourself to be killed knowing that "death" is an illusion and peacefully exit physicality and return to your eternal non-physical self and existence.  You would not choose to perpetuate more violence just for the survival of your physical body — which is not you; it's just a temporary vehicle.  When you know that the real you can't die it changes everything!

But what if we were attacked by another civilization you might ask?  Don't we have to worry about another civilization coming to Earth one day and destroying us?  This question is addressed in Conversations with God Book 4 and I will defer to it on this topic.

All I'll say about this is that our fear of this scenario is being encouraged by a whole slew of alien invasion movies and the like.  Given the benevolent extra-terrestrial presence that is here (i.e. highly evolved civilizations) trying to gently facilitate the awakening and evolution of Humanity, it makes you wonder if some or all the "alien fear porn" is the work of some agency with a nefarious agenda?  If you'd like to explore this topic further, then I suggest you check out the work of Dr. Steven Greer.  He is the world's leading expert and most trust worthy source on the extra-terrestrial presence, and who, why, and how it is being hidden from us.

#6 – They Never Damage Their Environment
Highly evolved beings would never do anything that could potentially damage or harm the physical environment that supports their society.  They deeply understand and appreciate the interconnection and interdependency of all life, and they deeply appreciate the environment that sustains them.  They know that to continue to have their environment to provide for their needs, and for the needs of all generations to come, then they must live sustainably — they must live in a way that is gentle, careful, and thoughtful to their natural environment and planet and wisely husband her resources.

Humanity, on the other hand, continues to demonstrate a callous disregard for their environment using and abusing it, and poisoning it (and ourselves in the process)!

#7 – They Share Everything With Everyone, There is No Ownership
In highly evolved civilizations there is no such thing as "ownership."  This is because they understand that since they are all One, everything that exists belongs to everyone that exists.  And hence, they share everything with everyone all the time.

A far cry from Humanity, which generally only shares with others in very limited circumstances.  We have an economic system and mindset that encourages us to accumulate as much stuff that we can call our own as we can, and that encourages a relative few to horde the majority of the resources and wealth of the planet.  To most of us, sharing everything probably seems completely impractical and unworkable.  It's very hard for us to imagine how sharing everything could work — but believe it or not, it works very well.

In highly evolved civilizations the idea of "ownership" is replaced by the concept of "stewardship."  Beings in those civilizations mutually agree on who will have stewardship responsibility for what, who will partner with whom, and who will perform what functions.  The person or persons that care for and manage a given thing or resource (e.g; the stewards) do not "take" it as their own — they are simply responsible for managing it.  It could be said that the resource is "owned" by the community and the steward of the resource is taking care of it on behalf of the community.  But of course, enlightened communities understand all resources are essentially gifts from the Universe that are to be managed responsibly, and used fairly, for all those using it now, and in the future.

Those who accept stewardship of anything, be it land or something else, do not imagine that they "own" it.  They understand that they are merely caring for and managing it for the benefit of the community.  For instance, no one imagines, that just because they are stewards of a particular plot of land on the planet on which they incarnated, that they "own" the minerals, water, and whatever else is under that plot of land — all the way down to the center of the Earth.  Nor does anyone imagine that they "own" the air, or the sky, above a particular plot of land — as high as the sky goes.  Such ideas are absolutely ludicrous to highly evolved beings and any debates about who owns the "rights" to whatever seems utterly pointless to beings who understand that they are all One.

A big stumbling block to embracing the idea of "no ownership" is our difficulty in imagining how we would earn a living without the profit motive that seems so strongly linked to ownership.  But unlike Humanity, highly evolved civilizations do not view living as something you have to "earn."  Systems can easily be devised that allows a society to fulfill individual and group needs without the members of that society having to sell their soul and abandon their dreams to survive.  Many civilizations have created such systems and have demonstrated that they work very well — producing a high degree of freedom, prosperity, and happiness for all.

Highly evolved beings also have a different way of looking at "profit."  They do not consider it "profitable" if one individual benefits at the expense of another.  They do not consider it honorable or acceptable if they get more and another gets less.  In highly evolved civilizations, no one benefits unless everyone benefits.  It might be said that they would measure profitability by how well a stewarded resource is managed and how well it provides benefits to the members of the community.  And hence, they would likely describe the degree of success of any venture by using the term "beneficial," rather than the term "profitable."

If you still think a society sharing everything is unworkable consider that Humanity makes sharing work all the time on a small scale — with our loved ones and families.  In this context, we generally care for others no matter what, regardless of what they've done.

What if we could extend our sense of family beyond blood relatives?  What if we could start by caring about everyone in our community with that same type of bond and the same sense of connection that we have for our family members?  And then what if we could extend it to everyone in our country, and then our world?  This is the difference between highly evolved civilizations and Humanity — they feel that same connection, the same amount of compassion, care, and love for everyone in their society.

When you begin to stop seeing others as outsiders, when you begin to transcend "us" versus "them," you are on the verge of a breakthrough in the evolution of your consciousness.  When you can treat every single person with kindness and respect no matter what they have done, then you will have transcended separation and will have powerfully aligned with the unconditional love of the Source within you.

Humans on the other hand, often say one thing and do another — and then ignore, deny, or lie about it!  Obvious examples abound.

For highly evolved beings, sticking to their word is a matter of honor and integrity.  If they don't think they'll be likely, or able, to do something they don't say it.  If on the other hand, they meant what they said, but later they find they can't keep their word because of unexpected circumstances, they will face it squarely and go talk to everyone involved to clear it up.  They will humbly and truthfully explain why they won't be able to do what you said.

#4 – They Always Do What Works
When highly evolved beings see a less than desirable situation and have understood why it exists, they always respond with something that works.  They do not ignore it, deny that it exists, cover it up, do something that doesn't address the true problem, or in some other way fail to take appropriate action — as is often the case with Humanity.

Examples abound, here are a few of them:

If our goal is to live a life of peace, joy, and love (which I sincerely hope it is), then violence does not work.  This is immensely obvious if you take but a moment to contemplate history — isn't it clear that retribution begets retribution, hate begets hate, violence begets violence.  And yet we repeat the pattern over and over.

If our goal is to live long and healthy lives, then consuming meat daily, smoking known carcinogens continuously, and drinking alcohol regularly does not work.  This has been amply proven, yet many of us continue to do these things.

If our goal is a society free of violence and war, then the modeling of violent behaviors and attitudes to your children, via our entertainment and toys, which has clearly been proven to facilitate the adoption of those violent tendencies, does not work and would be stopped immediately.  Yet, we do nothing.

#5 – They Never Kill Each Other
Highly evolved beings never, under any circumstances, kill another incarnate being unless specifically asked by the other to do so.  Within Humanity, murder and mass murder (war, etc) occur appallingly frequently.  We justify much of this behavior as "self-defense."

One of the root impediments to adopting a sharing economy is the belief that there is not enough for everyone, which leads to people wanting to make sure they get theirs, so someone else doesn't get it instead — possessiveness, greed, hoarding, etc. The belief in scarcity is one of the key beliefs that is responsible for creating the type of world we live in (e.g; one characterized by conflict and competition).

The apparent scarcity of many things on our world is largely due to unfair or inefficient distribution, not any inherent scarcity.  As a shameful example, there is actually enough food produced on this world for everyone yet many continue to starve.  And of course, much of the apparent scarcity on our world is intentionally manufactured by commercial interests to maximize profits or by distribution strategies based on profit only mentalities which leaves many without even though there is plenty.  And imagine if all of the energy and resources invested in the worlds war machines was applied to everyone's welfare — we could easily solve most if not all of the worlds inequities!

Because highly evolved civilizations work cooperatively, share everything, tell and face the truth, and do what works, they rarely experience scarcity.  But even more deeply, highly evolved beings have transcended scarcity altogether because they understand metaphysics and know that they are creating their reality with their thoughts and beliefs and so ultimately scarcity is an illusion which is self-created.

#8 – They Work Together Cooperatively, There is No Competition
Highly evolved beings never compete with one another.  They deeply know the Oneness of all and that what they do to another they ultimately do to themselves, so they work together for the greater good of all.  They cannot bring themselves to gain at the expense of another and so competition all but disappears in their civilizations.  When enlightened beings see the truth, they do what works and the strategy that works the best, in the long run, is cooperation and sharing.

Humanity has a long way to go in this regard.  Competition, at every level, runs rampant.  We have convinced ourselves that competition is healthy — that it motivates and produces more efficient outcomes.  And in the short term it often does, but in the long run, it creates great inequities. We have fallen into endless and often ruthless competitions for everything — money, power, fame, love, attention, sex, everything — and it is killing us.

#9 – They Do Not Embrace the Principles of Justice and Punishment
Highly evolved societies do not embrace the principles that we refer to as "justice" and "punishment."  Enlightened beings understand that any being that acts to harm another is deeply wounded, deeply in pain and that their acts are simply a cry for help, a cry for love.  Hence, they do not attempt to bring those that have done harm to justice or punish them.  They have found that, in the long run, this approach is rarely effective.  Instead, they reach out with compassion and love to help heal them.

They try to help heal these people in whatever way seems appropriate and effective.  And they understand that judging and punishing is rarely either — because it does not heal a person's core wounds and therefore alter their way of being or behavior.  They know that doing so will likely only deepen and sustain the wounds and the problem.  They know that only love can heal all wounds and transform people.

But how can a society function without laws and a judicial process, and the threat of punishment and incarceration that is the cornerstone of this system?  How can beings co-exist without some sort of "code-of-conduct" and associated disciplinary system?  The code of conduct of highly evolved beings is elegantly simple:

Do not think, say, or do anything to another that you would not want to have thought, said, or done to you.
Sound familiar?  Every religion on our planet teaches some version of what we've called "The Golden Rule."  The difference between human societies and highly evolved civilizations is that they actually apply The Golden Rule in their lives, rather than just giving it lip service.

But what happens in these civilizations if someone breaks The Golden Rule?  Is it considered a "crime?"  Believe it or not, there is no such thing as "crime and punishment" in highly evolved civilizations.  No one commits a "crime," because everyone understands that they are All One, and that an offense against, or harm to, another is an offense against their self.

And since their are no crimes, there is no need of what we might call "justice."  The concept of "justice" is interpreted and expressed in a different way, not as "punishment" but as "appropriate action," and in most cases, the appropriate action is far different than what would occur in our society.  A typical example is, rather than punishment and incarceration the action that would be taken would be education, support, and rehabilitation.

Justice is not something you experience after you act a certain way, but because you act a certain way.  Justice is an act, not punishment for an act.  An enlightened civilization understands this.  The problem with our society is that we seek "justice" after an "injustice" has occurred, rather than "doing justice" in the first place, through the choices and actions that we make — justice is an action, not a reaction.  When everyone in our society acts justly (e.g; follows The Golden Rule), we will not need judicial and incarceration systems.

#10 – They Do Not Believe In or Experience Lack
Highly evolved beings know that "lack" is a self-created experience and they have transcended it.  They understand metaphysics deeply and know that they are eternal beings — that their ultimate essence is pure consciousness, non-physical and formless, and hence they do not fear death and are not concerned about their survival.

When survival isn't the issue, the idea of lack begins to dissolve.  Fear of not having enough is further dissolved by their knowing that they are creators — that what they experience (their reality) is created by their thoughts, beliefs, intentions, and desires and hence what they can experience is limited only to what they can imagine — and they have gotten very good at imagining only an abundance of health, happiness, and prosperity.  At this level of consciousness, sometimes referred to as Creator Consciousness (versus Victim Consciousness), abundance is guaranteed.

At the level of existence of highly evolved civilizations they are no longer concerned with whether they will survive, or have enough, but in what manner they will live life to its fullest and create wonderful experiences for all.

Humanity is far from this level of consciousness and existence.  Fear of not having enough, and survival runs deep, and it is one of the core reasons why there is so much competition, conflict, inequities, and suffering in our world.

But most of the perceived shortages on our planet are illusory. A good example is the supply of food.  On our world, over 650 of our children die of starvation every hour — which seems to indicate there is a shortage of food.  Yet we scrape enough food off our plates in restaurants to feed whole countries; no child needs to starve to death.  The U.S. Department of Agriculture estimates food waste in the United States alone to be about 30 to 40 percent of the food supply — an estimated 133 billion pounds of food wasted.

This is a situation that would never, ever occur in highly evolved civilizations.  They would simply make it a priority to figure out how to solve the issue, which is more one of distribution than it is of lack of supply.  They would figure out how to "share" the food more effectively.#9 – They Do Not Embrace the Principles of Justice and Punishment
Highly evolved societies do not embrace the principles that we refer to as "justice" and "punishment."  Enlightened beings understand that any being that acts to harm another is deeply wounded, deeply in pain and that their acts are simply a cry for help, a cry for love.  Hence, they do not attempt to bring those that have done harm to justice or punish them.  They have found that, in the long run, this approach is rarely effective.  Instead, they reach out with compassion and love to help heal them.

They try to help heal these people in whatever way seems appropriate and effective.  And they understand that judging and punishing is rarely either — because it does not heal a person's core wounds and therefore alter their way of being or behavior.  They know that doing so will likely only deepen and sustain the wounds and the problem.  They know that only love can heal all wounds and transform people.

But how can a society function without laws and a judicial process, and the threat of punishment and incarceration that is the cornerstone of this system?  How can beings co-exist without some sort of "code-of-conduct" and associated disciplinary system?  The code of conduct of highly evolved beings is elegantly simple:

Do not think, say, or do anything to another that you would not want to have thought, said, or done to you.
Sound familiar?  Every religion on our planet teaches some version of what we've called "The Golden Rule."  The difference between human societies and highly evolved civilizations is that they actually apply The Golden Rule in their lives, rather than just giving it lip service.

But what happens in these civilizations if someone breaks The Golden Rule?  Is it considered a "crime?"  Believe it or not, there is no such thing as "crime and punishment" in highly evolved civilizations.  No one commits a "crime," because everyone understands that they are All One, and that an offense against, or harm to, another is an offense against their self.

And since their are no crimes, there is no need of what we might call "justice."  The concept of "justice" is interpreted and expressed in a different way, not as "punishment" but as "appropriate action," and in most cases, the appropriate action is far different than what would occur in our society.  A typical example is, rather than punishment and incarceration the action that would be taken would be education, support, and rehabilitation.

Justice is not something you experience after you act a certain way, but because you act a certain way.  Justice is an act, not punishment for an act.  An enlightened civilization understands this.  The problem with our society is that we seek "justice" after an "injustice" has occurred, rather than "doing justice" in the first place, through the choices and actions that we make — justice is an action, not a reaction.  When everyone in our society acts justly (e.g; follows The Golden Rule), we will not need judicial and incarceration systems.

#10 – They Do Not Believe In or Experience Lack
Highly evolved beings know that "lack" is a self-created experience and they have transcended it.  They understand metaphysics deeply and know that they are eternal beings — that their ultimate essence is pure consciousness, non-physical and formless, and hence they do not fear death and are not concerned about their survival.

When survival isn't the issue, the idea of lack begins to dissolve.  Fear of not having enough is further dissolved by their knowing that they are creators — that what they experience (their reality) is created by their thoughts, beliefs, intentions, and desires and hence what they can experience is limited only to what they can imagine — and they have gotten very good at imagining only an abundance of health, happiness, and prosperity.  At this level of consciousness, sometimes referred to as Creator Consciousness (versus Victim Consciousness), abundance is guaranteed.

At the level of existence of highly evolved civilizations they are no longer concerned with whether they will survive, or have enough, but in what manner they will live life to its fullest and create wonderful experiences for all.

Humanity is far from this level of consciousness and existence.  Fear of not having enough, and survival runs deep, and it is one of the core reasons why there is so much competition, conflict, inequities, and suffering in our world.

But most of the perceived shortages on our planet are illusory. A good example is the supply of food.  On our world, over 650 of our children die of starvation every hour — which seems to indicate there is a shortage of food.  Yet we scrape enough food off our plates in restaurants to feed whole countries; no child needs to starve to death.  The U.S. Department of Agriculture estimates food waste in the United States alone to be about 30 to 40 percent of the food supply — an estimated 133 billion pounds of food wasted.

This is a situation that would never, ever occur in highly evolved civilizations.  They would simply make it a priority to figure out how to solve the issue, which is more one of distribution than it is of lack of supply.  They would figure out how to "share" the food more effectively.

http://divine-cosmos.net/top-ten-characteristics-of-highly-evolved-beings.htm

Realitas paralel dan multidimensi dari alam semesta

Orang dahulu menggunakan istilah PLANES untuk pita frekuensi dan realitas paralel yang dikandungnya. Istilah kontemporer yang banyak digunakan adalah DIMENSI. Orang lain telah menggunakan istilah DENSITIES, tetapi apa yang semuanya bermuara pada FREKUENSI BAND.

Berbagai aliran pemikiran kuno masing-masing menghitung PLANE (alam) sedikit berbeda. Buddhisme mengatakan ada tiga puluh satu alam eksistensi, yang dipisahkan menjadi tiga alam. Satu hal yang mereka semua sepakati adalah sistem penomoran - mereka semua menetapkan nomor satu ke PLANE terendah dan menghitung dari sana. Sistem penomoran ini masuk akal karena setiap PLANE adalah pita frekuensi yang lebih tinggi.

Paling rendah 7 atau lebih PLANE dianggap "fisik" (materi). PLANE di atas ini, dan ada banyak, dapat dianggap sebagai PLANE "halus" (immaterial). Tidak ada batasan yang pasti, ini adalah transisi bertahap.

Ada sekelompok kecil individu di dunia saat ini yang telah menguasai kemampuan untuk bepergian ke alam eksistensi dengan memasuki kesadaran mereka yang lebih tinggi. Guy Needler adalah salah satunya dan telah menjelajahi banyak bidang realitas dan berkomunikasi dengan banyak makhluk menarik. Saya sangat merekomendasikan bukunya, The History of God, di mana ia membagikan perjalanannya dan apa yang telah ia pelajari tentang asal dan fisika Alam Semesta.

Jadi dimana kita? Sampai saat ini kita sudah ada di PLANE ke-3 (kepadatan / dimensi), yang sangat dekat dengan bagian bawah pita frekuensi. Ini adalah bidang materi yang sangat padat dengan tingkat kesadaran yang ditandai oleh hilangnya koneksi dengan diri kita yang lebih tinggi, kesadaran yang terbatas, pemikiran ego-sentris, dan rasa takut. Pada sekitar 2012 frekuensi dasar bumi dan penduduknya meningkat dan kita beralih ke kepadatan ke-4.

Tingkat frekuensi dasar PLANE dan sejumlah besar penduduknya secara bertahap meningkat melalui kepadatan ke-4 dan akhirnya, pada suatu titik di masa depan, kita akan bertransisi ke kepadatan ke-5. Kesadaran kepadatan kelima ditandai dengan kesadaran yang meningkat, pemikiran kooperatif, dan cinta tanpa syarat.

Kita "naik" melalui pita frekuensi ke alam eksistensi yang lebih tinggi. Kami sedang berevolusi ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Ketika kita naik melalui kepadatan dunia kita akan berubah menjadi lebih baik karena dunia luar adalah refleksi dari tingkat kesadaran kita - pikiran dan keyakinan kita menciptakan realitas kita .

Makhluk dari PLANE Tinggi Berada di Sekitar Anda

Makhluk yang ada di PLANE yang lebih tinggi dapat berada tepat di sebelah Anda dan Anda tidak akan mengetahuinya. "Tubuh" mereka adalah pola energi berfrekuensi super tinggi dan tidak padat sama sekali. Mereka dapat melewati materi melalui materi di PLANE yang kita miliki. Makhluk yang menghuni bidang material paralel biasanya tidak memiliki persepsi terhadap "PLANE" lain. Makhluk yang mendiami bidang halus biasanya dapat melihat PLANE yang lebih rendah jika mereka memilihnya. Salah satu contohnya adalah makhluk dari alam "Malaikat" yang merupakan PLANE dengan frekuensi sangat tinggi - sangat dekat dengan frekuensi "dewa". Makhluk halus ini dapat "berkomunikasi" dengan kita melalui pikiran dan perasaan kita karena pikiran dan perasaan adalah energi juga - sama seperti semuanya. 

Banyak makhluk dari alam realitas yang lebih tinggi mengelilingi, mengamati, dan mendukung kita. Mereka biasanya disebut sebagai pemandu roh dan pengaturan diri Anda yang lebih tinggi dengan beberapa dari mereka untuk mengawasi Anda selama inkarnasi Anda di bumi .