Senin, 16 April 2018

Apakah Tuhan Punya Wujud? (logika mudah)

Selanjutnya marilah kita mencari jawaban pertanyaan ini: 

Apakah Tuhan dalam agama Hindu mempunyai wujud? 

Apakah Tuhan sama seperti manusia sehingga kepadaNya kita mempersembahkan sesajen yang terbuat dari bermacam-macam makanan? 

Mengapa pula umat Hindu membuat patung-patung yang disakralkan?

Untuk memahami ini, maka kita hendaknya tidak hanya melihat filsafatnya saja. Kita mesti memahami pula bagaimana cara-cara penghayatan umat Hindu yang awam.

Simaklah arti bait kedua mantram Trisandhya:
OM Sang Hyang Widhi yang diberi gelar Narayana, segala makhluk yang ada berasal dari Hyang Widhi, Dikau bersfat gaib, tak berwujud, tak terbatas oleh waktu, menguasai segala kebingungan, tak termusnahkan, Dikau Maha Cemerlang, Maha Suci, Maha Esa tidak ada duanya, disebut Narayana dan dipuja oleh semua mahluk.

Di sini jelas bahwa Tuhan, Sang Hyang Widhi Wasa, tidak berwujud dan tidak dapat diwujudkan. Tetapi mengapa ada patung-patung dewa? Apakah umat Hindu berarti menyembah berhala pula? Mengapa tidak konsekwen menyembah satu Tuhan?

Mari kita lepaskan dulu prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi ini, meskipun datangnya dari orang yang mengaku atau merasa intelektual dan modern. Kita tahu, bahwa semua bangsa di dunia mencintai dan menghormati bangsanya. Tetapi cobalah tanya, bagaimana wajah bangsanya? Tidak seorang pun tahu dan bisa menjelaskan bagaimana rupa sebenarnya dari apa yang disebut bangsa itu. Karena itulah, semua bangsa membuat simbol. Bangsa Indonesia menggambarkan simbol bangsanya dengan bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, dan sebagainya. Apakah memang begitu wajah Bangsa Indonesia? Bukankah bendera Merah Putih itu hanya secarik kain yang terdiri dari kain berwama merah dan putih? Apakah kita menghormati kain? Bukankah kain itu ciptaan manusia? Kita menghormati Garuda Pancasila, tapi apakah Garuda Pancasila itu persis sama dengan burung Garuda? Apakah kita termasuk penganut totem yang menghormati binatang? Kita bisa menjawab dengan gampang: tidak! Bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, hanya simbul yang sangat berguna untuk memantapkan rasa hati berbangsa.

Perhatikanlah, pada saat bendera dinaikkan dalam upacara, baik orang yang rasional maupun yang irrasional dengan tertib dan hikmad memberi hormat kepada bendera itu, meskipun semua orang tahu bendera itu terbuat dari kain ciptaan manusia. Keanehan ini timbul karena keinginan, naluri manusia, yang memvisualisasikan bentuk-bentuk yang abstrak, agar lebih mudah dimengerti atau dihayati oleh orang awam.


Demikianlah Tuhan dalam agama Hindu, sudah jelas disebutkan dalam Weda, bahwa la tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan dipikirkan pun tidak. Tetapi kalau orang yang sembahyang tidak menggambarkan bentuk yang disembah itu, maka konsentrasinya tidak akan bisa sempuma. Meskipun tidak berwujud patung, orang yang sembahyang tentu menggambarkan Tuhan itu dalam hatinya, minimal dalam bentuk pikiran. Nama pun adalah sebuah simbul. Adanya sebuah nama, tentu karena didahului oleh adanya sebuah bentuk, walaupun abstrak.

Istilah Tuhan, Hyang Widhi, dan nama apapun yang diberikan menurut agama lain atau daerah tertentu adalah simbul untuk menamai bentuk pikiran yang tidak dapat dilukiskan karena abstraknya. Kecenderungan ingin melukiskan Tuhan atau dewa dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa bhakti (cinta). Sebagaimana halnya seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita sampai pada tingkat madnes (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya seakan-seakan bantal guling itu kekasihnya. Bila yang sedang dimabuk asmara itu suka membaca atau mengarang puisi, maka ia menggambarkan wanita itu dengan saiak-sajaknya, yang penuh dengan perumpamaan. Misalnya, matanya seperti bintang timur, mukanya seperti bulan purnama, bibirnya merah seperti merah delima dan sebagainya. Padahal, cobalah pikir,jika ada wanita yang matanya persis menyerupai bintang timur dan mukanya bulat seperti bulan purnama, wanita itu barangkali tidak bisa disebut cantik.

Tetapi, itulah simbul, ekspresi yang muncul dari perasaan cinta. Demikian pulalah umat Hindu yang  tergila-gila ingin menggambarkan Tuhan-nya, dewanya. Mereka membuat patung sebagai wujud perasaan cintanya, diberi perhiasan, dipuja, dan tidak pernah terpikirkan dalam hatinya bahwa patung itu adalah sebuah kayu yang diukir.

Tuhan, Hyang Widhi Wasa yang abstrak, sulit dimengerti orang awam. Seperti halnya murid TK kelas Nol kecil. Dia tidak bisa membayangkan berapa tiga ditambah tiga, karena pengertian tiga itu abstrak. Maka Ibu Guru menggambar bulatan menyerupai telur di papan tulis sebanyak tiga tambah tiga.
Ibu Guru bertanya , Ini apa anak-anak? , "telur" Seluruh anak menjawab serentak,
"Berapa jumlah telur ini anak-anak? " tanya bu Guru lagi. "6" Jawab Anak-anak.

Berbohongkah Ibu Guru kita itu?
Bukankah yang ada di papan tulis bukan telur melainkan kapur? Anak-anak pun merasa tidak perlu mempersoalkan, apakah gurunya berbohong atau tidak. Anak-anak tidak merasa dibohongi, dan Ibu

Gurunya pun tidak bermaksud membohongi dalam kasus metode proses belajar mengajar ini. Karena anak-anak yang belum mampu membayangkan sesuatu yang abstrak perlu visualisasi (peragaan), dan contoh itu tidak mesti harus persis dengan kenyataan sebenamya. Begitulah, orang sulit membayangkan Tuhan bila tidak dibantu dengan membuat bentuk. Mereka tidak dapat membayangkan Tuhan seindah aslinya karena mata kepalanya tidak pernah melihat.

https://singaraja.wordpress.com/2008/04/11/bagaimana-umat-hindu-menghayati-tuhan/

0 komentar: