Umat Hindu meyakini bahwa alam semesta dengan bintang dan planet-planet di ruang angkasa yang tidak terlihat oleh mata bahkan oleh teropong bintang sekali pun, sebenarnya ada dalam diri Hyang Widhi. Bumi kita tidak lebih dan sebuah sel Hyang Widhi.
Kalau kita bandingkan diri kita setitik air di dalam samudra, titik air ini tidak boleh mengatakan dirinya samudra, karena di dalam samudra titik air ini merupakan bagian yang amat kecil. Dalam titik air ini, sifat asin samudra ada. Demikian pula manusia walaupun ada di dalam diri Tuhan tidak bisa mengatakan dirinya Tuhan, meskipun sifat-sifat ketuhanan itu ada dalam diri manusia.
Dalam susunan yang demikian itu maka sulit untuk mengatakan di mana sebenamya Tuhan itu bertahta. Tuhan ada di mana-mana. Tidak ada tempat yang tidak ditempati Tuhan. Jika Tuhan ada di mana-mana, mengapa manusia memuja Tuhan di pura atau di tempat suci lainnya? Apa perlunya membuat pura? Bukankah dari tempat tidur atau sambil jongkok, kita bisa bersembahyang?
Memang, tetapi cara yang paling mudah dan indah untuk mendekati Tuhan adalah melalui rasa. Untuk membangkitkan rasa agama, rasa cinta kepada Tuhan, maka perlu kondisi yang bisa menggiring rasa ketuhanan muncul dan bergelora dengan mantap. Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu membuat pura di tempat-tempat yang indah, tempat-tempat bersejarah atau tempat-tempat yang bisa membangkitkan kekaguman akan kebesaranTuhan.
Sad Kahyangan di Bali yang merupakan pura inti seperti Pura Besakih, Batur, Lempuyang, Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu dan ribuan pura lainnya, semuanya dibangun di tempat yang penuh ketenangan, keindahan dan keagungan. Di tempat-tempat ini, orang akan merasa kecil di tengah-tengah kebesaran dan keindahan alam yang diciptakan Hyang Widhi.
Dalam kondisi demikian, maka orang akan mudah mengagumi dan menghormati Tuhan. Di tempat yang demikian rasa ego akan lenyap diganti oleh rasa kagum dan hormat, maka konsentrasi pikiran kepada Tuhan akan lebih mantap.
Karena kita ingin mewujudkan kondisi yang suci itu, maka bahan dan bentuk pura pun tidak dibuat menyerupai rumah tempat tinggal atau gedung perkantoran. Bagi umat Hindu, pura adalah Kahyangannya Tuhan. Oleh karena itu, pura dibuat dari bahan-bahan tertentu, sehingga bila memasuki pura, kita merasa masuk ke Kahyangan dan Tuhan pun rasanya ada di sana.
Menghadap ke manakah kita bersembahyang? Gunung dan tempat matahari terbit merupakan kiblat bagi umat Hindu menundukkan kepala kepada Hyang Widhi. Kenapa ke arah gunung? Karena gunung dikenal dengan sebutan Acala Lingga, yang berarti tempat Tuhan yang tidak bergerak. Umat Hindu meyakini, gunung adalah linggih (tempat) Hyang Widhi. Mengapa Tuhan dipuja di puncak gunung? Bukankah Tuhan ada di mana-mana?
Benar, Tuhan ada di mana-mana. Tetapi umat meyakini bahwa untuk memuliakan Tuhan, maka Beliau ôditempatkanِ di tempat yang lebih tinggi. Makin tinggi suatu tempat, makin mulialah yang dipuja. Itu pula sebabnya gunung Mahameru yang tertinggi di India dianggap sebagai linggih Siwa. Di Pulau Jawa, Gunung Semerulah yang dianggap paling tinggi oleh umat Hindu sejak zaman dulu. Sedang di Pulau Bali Gunung To Langkir atau Gunung Agung merupakan linggih Hyang Widhi (Siwa). Di pura, bangunan meru¦bangunan yang tertinggi¦dilambangkan sebagai gunung. Kata meru mengingatkan kita kepada Gunung Mahameru dan Semeru.
Selain dianggap Acala Lingga, gunung mempunyai arti penting bagi umat Hindu karena memberikan kemakmuran. Dengan hutan dan tanahnya yang subur, gunung berfungsi menyimpan air hujan lalu sedikit demi sedikit dialirkan melalui sungai, sehingga hampir sepanjang tahun manusia menikmati aliran sungai yang tidak henti-hentinya mengalir baik untuk diminum maupun untuk mengairi sawah. Karena itu gunung bisa disebut waduk ciptaan Tuhan. Maka wajar dan sepatutnyalah kalau umat Hindu menghadap ke gunung dalam bersembahyang, karena dari sanalah Tuhan menyampaikan anugrah. Melalui gunung pula umat Hindu menyampaikan rasa terimakasih.
Perwujudan rasa hormat itu, tampak pula pada etika yang hidup dalam masyarakat Hindu. Arah kaja (utara) dianggap sebagai hulu. Kata kaja berasal dan kata ke adya yang berarti ke gunung (adya artinya gunung). Kata utara berasal dan urat kata udyang artinya menonjol atau menjulang. Yang dimaksud dengan ômenjulang dalam hal ini adalah tanah yang menjulang tinggi atau gunung. Sedangkan kelod (selatan) berasal dan kata ôke lautِ dan dianggap sebagai hilir.
Dalam masyarakat, lebih-lebih di pegunungan, posisi tidur juga diatur norma atau etika berdasarkan letak gunung. Pada saat tidur, kepala berada di arah gunung, karena gunung dianggap sebagai hulu atau kepala. Di beberapa daerah, dalam menguburkan mayat, letak kepala si mayat harus ada di arah gunung.
Sebagaimana disebutkan tadi, arah matahari terbit juga dianggap suci. Letak bangunan pura umat Hindu sebagian besar terletak di arah timur menghadap ke barat, sehingga orang yang sembahyang akan menghadap ke timur. Mengapa arah matahari terbit itu disucikan? Karena matahari itu adalah simbul kekuasaan Hyang Widhi. Menurut para ahli ilmu bumi, planet bumi kita berasal dari pecahan matahari. Dalam agama Hindu disebutkan, jazad manusia terdiri dan unsur Panca Maha Bhuta, yaitu pretiwi (tanah), apah (zat cair), teja (panas), bayu (angin), dan akasa (angkasa atau zat ether). Kekuatan yang ditimbulkan matahari menyebabkan bumi berputar, angin dan air beredar. Dengan sinar matahari semua makhluk bisa hidup. Matahari adalah sumber energi. Tanpa matahari kehidupan tidak mungkin ada.
Dalam Nitisastra disebutkan,jika saat tidur kepala berada pada arah matahari terbit (timur) maka akan menyebabkan panjang umur. Jika saat tidur kepala berada pada arah gunung, maka akan menyebabkan murah rezeki. Dalam kenyataannya, sebagaimana telah banyak disinggung, matahari merupakan sumber kehidupan dan gunung memberikan kemakmuran.
Mengapa Tuhan disebut melinggih (bertempat) di gunung, matahari dan pura? Bukankah Tuhan ada di mana-mana dan menguasai alam semesta?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya kita dapat mengambil contoh: seorang tuan tanah yang memiliki tanah berhektar-hektar. Jika tuan tanah ingin melihat tanahnya, dia akan memilih tempat yang lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya. Dengan begitu dia akan dengan mudah melihat atau mengawasi miliknya. Demikianlah Tuhan sebagai penguasa alam, ômenganggapِ matahari dan gunung milik-Nya yang tertinggi dan terbaik untuk mengawasi seluruh alam dan segala isinya. Tapi ini hanya sekadar contoh untuk memudahkan pemahaman.
Demikianlah mengapa umat Hindu mencakupkan tangan memuja Tuhan ke arah matahari terbit, atau ke arah gunung. Karena dari tempat dan arah itu Hyang Widhi dipercaya mengawasi dan menyampaikan kasih berupa anugrah yang melimpah kepada semua makhluk. Maka sudah sepatutnya, dari mana datangnya kasih, melalui itu pula umat Hindu menundukkan kepala menyatakan terima kasih.
Sumber: Buku “Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan“
0 komentar:
Posting Komentar