Senin, 16 April 2018

Perbedaan Nama Tuhan dalam Hindu & Memahami Tuhan (dengan Logika yang ringan)

Dalam Hindu sangat menghargai perbedaan dan mengakomodasi local genius, sehingga Hindu tidak merubah budaya dasar suatu tempat, dan faktanya orang lebih nyaman berbicara dengan bahasa Ibunya dibandingkan dengan bahasa Asing. Oleh karena itu maka ada kata Tuhan (Indonesia), GOD (English), atau Sang Hyang Widhi di Bali.
Tak heran bila Tuhan Dalam Hindu di sebut dengan berbagai nama “Ekam Sat Viprah Vahuda Vadanti”, Tuhan Hanya Satu, Para bijaksana memberi banyak nama. Widhi Artinya Maha Tahu, Melenyapkan Kegelapan..

Hindu memang berbeda dengan Islam, jadi wajar kalo pengajarannya juga beda. Seperti orang Eropa nyaman makan roti, dan orang Indonesia nyaman makan nasi, kan tidak mesti orang Eropa ikut-ikutan orang Indonesia, demikian juga sebaliknya, tidak mesti orang Indonesia ikut-ikutan orang Eropa,

https://singaraja.wordpress.com/2008/04/11/bagaimana-umat-hindu-menghayati-tuhan/

Ada orang bernaina Sunu. Jabatan Sunu dalam lembaga pemerintahan adalah sebagai direktur. Karena itu, semua pegawai bawahannya memanggil Pak Sunu dengan sebutan Pak Direktur. Tetapi Pak Sunu ini juga sebagai rektor dari sebuah perguruan tinggi, sehingga semua mahasiswanya memanggil dengan nama Pak Rektor. Di rumah, sebagai seorang suami, istrinya memanggil dengan ucapan beli yang artinya kakak (kanda). Sebagai seorang ayah, Pak Sunu dipanggil anaknya dengan sebutan aji atau bapa yang artinya bapak atau ayah. Apakah nama yang banyak ini berarti orangnya banyak? Tidak, kan? Karena orang itu hanya satu, yaitu Pak Sunu sendiri. Pak Sunu menyandang banyak sebutan atau nama, dan setiap nama yang dipakainya itu benar, sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Jadi, nama ini erat sekali hubungannya dengan fungsi atau tugas. Demikian pula Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau disebut Brahma pada waktu menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Beliau juga disebut Wisnu pada waktu memelihara semua ciptaannya dengan penuh cinta kasih. Beliau disebut Siwa pada waktu mengembalikan ciptaannya ke asalnya.

Sehubungan dengan fungsi Siwa ini, orang Barat banyak yang keliru memberikan tafsir. Mereka mengatakan Siwa adalah Dewa Perusak, melakukan pralina dengan terjemahan to destroy. Padahal arti sebenarnya yakni, mengubah dan bentuk sekarang ke bentuk semula (asal)ِ. Misalnya, tubuh manusia yang kekar dan gagah, setelah meninggal akan hancur menjadi pretiwi (tanah), apah (zat cair), bayu (angin), teja (panas), dan akasa (ether). Karena lima unsur yang disebut Panca Maha Butha itulah asalnya manusia. Jadi istilah ôperusakِ atau ôpenghancurِ kurang tepat, karena konotasinya negatif. Jika istilah ini dibiarkan terus berdengung tanpa ada usaha meredam, maka jangan-jangan nanti umat Hindu ditafsirkan memuja Dewa Perusak.

Sebagaimana diyakini, Tuhan menciptakan hukum alam, hukum yang mengatur perputaran alam semesta. Planet-planet berputar teratur tanpa bertabrakan. Semua makhluk, lahir, hidup dan mati. Planet bumi berputar tidak henti-hentinya. Perubahan di dunia fana ini adalah hukum yang abadi. Segala sesuatu yang diciptakan, setelah dinikmati dan dipelihara akan kembali musnah. Semua manusia yang lahir, mau tak mau harus siap menghadapi hidup dan akhirnya antre menuju pintu kematian. Lahir, hidup dan mati adalah hukum alam yang diciptakan Tuhan. Tidak ada kekuatan manusia pun yang bisa menghindari hukum abadi ini.

Kekuasaan hukum itulah yang dimanifestasikan dan dipersonifikasikan sebagai Dewa Brahma (pencipta), Dewa Wisnu (pemelihara), Dewa Siwa (pengembali). Bayangkan, apa jadinya seandainya semua makhluk yang lahir di atas bumj ini tidak ada yang mati. Pada saat tertentu tempat berdiri pun tidak ada. Itulah sebabnya, adalah keliru kalau semua bentuk kematian dinilai jelek. Jangan pula kehancuran itu ditakuti, karena tidak semua bentuk kehancuran itu jelek. Bukankah untuk membangun yang baru, harus menghancurkan yang lama terlebih dahulu?


Nah, lalu apa pula dewa itu?
 Dewa adalah tidak lain dari sinar kekuasaan Tuhan. Kata dewa berasal dan urat kata div yang artinya sinar. Ambilah contoh matahari. Kalau dunia ini diatur oleh matahari yang satu, maka hidup semua makhluk pun dipengaruhi oleh sinar matahari yang satu itu pula. Air laut diterpa sinar matahari lalu menguap menjadi embun dan jatuh menjadi hujan. Maka terbentuklah sungai yang mengalirkan air itu. Jika tidak ada panas matahari, maka air laut pun tidak menguap.

Begitu pula, angin beredar karena adanya perbedaan padatnya tekanan udara di suatu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan tekanan udara itu ditimbulkan oleh perbedaan panas sebagai akibat perbedaan penyinaran matahari. Andai kata angin tidak beredar, maka betapa panasnya dunia ini.
Lalu kita tahu pula, tumbuh-tumbuhan hidup karena sinar matahari. Ya, semua makhluk bisa hidup dengan baik akibat sinar matahari. Bola matahari itu sendiri tidak pernah menempel pada bumi. Hanya sinarnya saja yang menyentuh bumi.

Begitulah Tuhan, bila diumpamakan bagaikan matahari. Sinar-sinarnya adalah dewa. Sinar itu tidak lain dari sinar yang timbul dari kekuatan matahari. Bila matahari tidak ada, maka sinar itu pun tidak ada. Dewa-dewa pun begitu juga. Bila Tuhan tidak ada, dewa-dewa pun tidak ada.

https://singaraja.wordpress.com/2008/04/11/bagaimana-umat-hindu-menghayati-tuhan/

0 komentar: